Kritik Sastra: Novel 1 Akal 9 Hati


Aku mengidamkan agar kaum perempuan belajar menilai apa pun dengan cara pandang mereka sendiri dan bukan melalui mata laki-laki. — Annie leclerc.
Kutipan di atas sangat sesuai dengan pesan yang terkandung dalam novel 1 Akal 9 Hati, karya El Kazhiem. Secara garis besar, novel ini berisi gugatan-gugatan penulisnya terhadap ideologi patriarki yang dianut masyarakat kita. El kazhiem melancarkan gugatannya dengan meminjam mulut tokoh utama yang Ia beri nama Maria Qibtiyah. Saya yakin pemilihan nama “Maria Qibtiyah sebagai tokoh utama bukan karena iseng, melainkan mengandung motif tertentu dari penulis.
Dalam catatan sejarah, Maria Qibtiyah merupakan seorang budak Kristen koptik yang dikirimkan sebagai hadiah dari pegawai Bizantium kepada Nabi Muhammad. Menurut sebagian tokoh Islam, Ia juga termasuk isteri beliau. Berdasarkan data tersebut, saya menebak bahwa dengan memilih nama itu, penulis bermaksud menggugat agama (baca : penafsiran agama ) yang cenderung menguntungkan pihak laki-laki. Wacana patriarki melalui penafsiran agama memang sebuah alat legitimasi paling efektif sekaligus ampuh karena berlindung atas nama Tuhan. Adakah alat legitimasi yang lebih kuat daripada agama yang diklaim berasal dari Tuhan ?
Patriarki adalah sistem sosial dimana laki-laki memegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak social, dan kontrol properti. Sistem patriarki mengakibatkan kekerasan terhadap pihak yang didominasi, dalam hal ini perempuan. Baik itu kekerasan yang menyasar fisik maupun psikologi. Penerapan sistem patriarki dalam sebuah rumah tangga atau komunitas yang lebih luas tidak otomatis memunculkan kekerasan fisik. Namun penerapan sistem ini sudah pasti menyasar psikologi korban. Bisa cara berfikirnya, maupun afeksinya sehingga dapat juga disebut sebagai kekerasan simbolik yang beroperasi melalui wacana. Kekerasan jenis ini paling sulit diatasi mengingat korban tidak merasa telah didominasi atau dimanipulasi. Kekerasan simbolik terjadi karena pengakuan dan ketidaktahuan pihak yang didominasi. Hanya saja prinsip simbolis diketahui dan diterima, baik oleh yang menguasai maupun yang dikuasai. Prinsip simbolis ini berupa bahasa, cara berfikir, cara kerja, dan cara bertindak. Wacana patriarki merupakan kekerasan karena menjebak perempuan dengan menentukan cara melihat, merasakan, berfikir, dan bertindak (Haryatmoko, 2010 : 128)
Meski El kazhiem adalah penulis kesekian yang mengusung tema ini,menurut saya ideologi patriarki akibat penafsiran agama tetap menarik diperbincangkan karena sampai sekarang mayoritas pemeluk agama menafsirkan teks “suci” mereka secara esensialistik. Hal ini menimbulkan anggapan bahwa penafsiran versi mereka adalah kebenaran absolut sehingga menafikan kemungkinan-kemungkinan penafsiran lain.
Isi novel 1 Akal 9 Hati diawali dengan kepulangan Maria Qibtiyah ke rumah orang tuanya setelah ia bercerai dengan suaminya karena menolak untuk dimadu. Kampung halaman tidak membuat pikiran Maria tenang, melainkan malah menambah beban hidup karena adiknya menderita autis sedangkan ibunya adalah seorang janda yang menderita stress berkepanjangan. Beberapa bulan berlalu dan akhirnya ia mendapat pekerjaan di lingkungan barunya. Untuk menyalurkan perasaannya akibat pengalaman pahit masa lalu, ia memutuskan untuk menekuni hobi baru, yaitu dunia tulis-menulis. Suatu hari ia bertemu dengan Mawar, gadis peniup seruling yang merangkap sebagai penyair. Ternyata Mawar mempunyai masalah yang tak kalah berat dari Maria. Ia lari dari rumah karena menolak menikah dengan Danu, laki-laki yang dijodohkan kepadanya. Penolakan terjadi bukan karena Mawar tidak mencintai Danu. Melainkan anggappan Mawar bahwa pernikahan akan membatasi kehidupannya. Kisah novel ini mulai memasuki area konflik ketika Danu menyuruh orang-orangnya untuk menculik Mawar dan memasukkannya ke panti rehabilitasi. Maria tidak terima perlakuan Danu terhadap Mawar, Bersama Wina yang merupakan senior di komunitas penulis perempuan, Ia melakukan konfrontasi dengan Danu dengan tujuan membebaskan Mawar
Meski menawarkan tema yang cukup menarik, menurut saya novel ini tidak lepas dari beberapa kelemahan mendasar. Di antaranya :
1. Masih terdapat kalimat yang tidak logis
Pada halaman 3, El kazhiem menulis :
“Tapi lagi-lagi kamu mengira dirimu matahari yang sinarnya mampu memberi kehidupan kepada seluruh bintang di alam semesta”
Ada yang salah dengan kata “bintang” karena bintang bukanlah makhluk hidup. Kata “bintang dalam kalimat di atas lebih tepat diganti dengan kata “makhluk” atau “spesies”
2. Terdapat keteledoran penulis dalam menyampaikan alur
Pada halaman 172, terjadi percakapan antara Wina dan tokoh utama
Wina : “Sepertinya siang nanti aku mau ke tempat Mawar. Danu mengubah jadwal. Omong-omong, Mawar sudah dipindah ke daerah Parung”
Maria : “Parung ?”
Wina : “ Ke sebuah panti rehabilitasi.”
Maria : “Jadi ada yang perlu direhabilitasi dari Mawar. ?”
Wina : “Itu yang mau kucari tahu. Oh ya, aku ditemani kawan dari bantuan hukum.”
Maria : “Hati-hati, Mbak. Semoga masalah ini cepat selesai.”
Wina : Iya, Mar. Sudah dulu ya. Nanti kutelepon lagi perkembangan selanjutnya.”
Tapi pada halaman 189, ketika Wina bersama Maria menjenguk Mawar, Ia belum tahu pasti lokasi dimana Mawar menjalani perawatan
Maria : “Suram dan tidak layak, “celetukku, “jangan-jangan kita salah tempat ?”
Wina : “Alamatnya sudah betul. Kita cari saja pengurusnya”
Bukankah sebelumya ( hal 172 ) penulis menceritakan bahwa Wina akan menjenguk Mawar bersama kawan dari bantuan hukum ?
Seharusnya Wina tidak ragu ketika sampai di tempat rehabilitasi bersama Maria. Saya menilai Wina belum pernah kesana dari kalimat :
“Alamatnya sudah betul. Kita cari saja pengurusnya”
Kalau kalimat dialog di atas penulis maksudkan untuk meyakinkan Maria bahwa memang itu tempat rehabilitasinya, seharusnya ia menggantinya dengan kalimat “memang ini tempatnya” dsb.
Kalimat “alamatnya sudah betul” biasanya diucapkan seseorang ketika pertama kali mencari alamat sebuah tempat.
Saya sudah mencoba berbaik sangka bahwa sebelumnya Wina memang belum pernah ke tempat itu karena Toto, orang dari bantuan hukum membatalkan untuk ikut. Tapi pada halaman 178 terdapat dialog yang menyatakan bahwa Wina telah menjenguk Mawar.
Dering telepon cepat-cepat mengalihkanku. Mbak Wina menghubungiku lagi. Suaranya meninggi,
Wina : “Ini gila, Mar !”
Maria :“Ada apa, Mbak ?”
Wina : “Kita harus ketemu, Mar. Tidak bisa bercerita di telepon. Lain waktu kamu harus ikut, Mar. Dia butuh kamu.”
Maria :“Bagaimana keadaannya, Mbak ?”
Wina : “Nanti aku ceritakan. Akhir pekan kamu kujemput.”
3. El Kazhiem begitu terburu-buru menyelesaikan novelnya.
Konflik yang seharusnya bisa diolah dengan baik antara Maria, Wina vs Danu dan tantenya Mawar mendadak selesai tanpa solusi yang detail. Penulis belum menjelaskan bagaimana cara Maria dan Wina menjinakkan Danu. Awalnya saya berharap akan menemukan konflik berupa adu argument di persidangan seperti yang terdapat dalam novel Malaikat Keadilan karya Sidney Sheldon. Rupanya harapan saya terlalu muluk-muluk.
Selain beberapa hal di atas, ada bagian lain yang juga membuat saya bertanya-tanya. Pada halaman 38, tokoh utama berkata :
“Menurutku cuma puisi yang berhak disebut sastra, dan para penyair itu sastrawannya. Kalau novel ya novelis, kalau cerpen ya cerpenis. Lucu juga. Mungkin di abad ini tidak diperlukan lagi label sastrawan atau sastrawati.”
Andai kalimat di atas meluncur dari hasil pemikiran tokoh utama yang dalam hal ini masih awam dan baru belajar dalam dunia tulis menulis, saya dapat memaklumi. Tapi kalau El kazhiem sedang meminjam mulut Maria Qibtiyah untuk menyampaikan pesan kepada pembaca, maka kalimat di atas harus dikoreksi karena yang berhak disebut sastra bukan hanya puisi. Prosa juga dapat digolongkan sebagai karya sastra. Tentunya bukan jenis prosa “pop”.
Mudah-mudahan melalui kolom komentar penulis memberikan klarifikasi sehingga tidak membuat pembaca seperti saya risih.
Literature can be classified according to whether it is fiction or non-fiction and whether it is poetry or prose; it can be further distinguished according to major forms such as the novel, short story or drama; and works are often categorized according to historical periods or their adherence to certain aesthetic features or expectations (genre). — Wikipedia.
Terlepas dari beberapa kesalahan di atas, saya rasa novel 1 Akal 9 Hati layak dikonsumsi para pembaca awam yang ingin mengetahui hal yang selama ini menjadi tuntutan para aktivis feminis. Untuk mengakhiri tulisan ini, saya akan mengutip salah satu bagian dari novel Pendidikan Istri karya A. Gide.
Dan aku bersumpah bahwa jika aku mempunyai seoranganak perempuaan, aku tak akan mengajarkan satupun seni kesenangan padanya (tatakrama menyenangkan lelaki red )….., tapi aku akan memberikan suatu pendidikan serius yang memungkinkan ia untuk tidak perlu mengangguk setujuj, menyenangkan orang, dan memberi dukungan.
Resensi oleh: Agus Rubiyanto

Comments

Popular Posts